Pilkada 2020 Disarankan Hybrid, Ini Penjelasannya

Jakarta – Pilkada Serentak 2020 sudah seharusnya berlangsung dengan cara berbeda dengan Pilkada sebelumnya.
Karena prosesnya berlangsung di saat pandemi Covid-19, Pemilu bisa jadi pedoman untuk membuat Pilkada dan Pemilu Nasional di masa depan berjalan lebih baik dan modern.
“Pemilu ke depan, termasuk Pilkada 2020 sampai Pilpres-Pileg 2024 dan seterusnya, akan berbeda dengan dengan Pemilu-Pemilu sebelumnya,” ucap praktisi multimedia-telematika, KRMT Roy Suryo,, Selasa (7/7).
Perbedaan paling mencolok adalah pada kelompok usia peserta. Indonesia harus siap dengan ledakan jumlah generasi milenial sebagai pemilih..
Selama ini milenial tidak biasa melihat media konvensial. Kalau dulu sosialisasi Pilkada biasa dilakukan secara langsung atau dengan metode konvensisonal, saat ini hal itu tidak bisa dilakukan lagi.
Menurut dia, tata laksana pemilihan harus mulai dimodernkan sejak Pilkada 2020. Sosialisasi tahapan, publikasi agenda KPU, pendaftaran calon pemilih , kampanye peserta Pemilu, harus mengikuti perkembangan zaman. Semua bisa dilakukan secara virtual atau online.
“Tapi pendaftaran calon peserta Pemilu dan Pilkada tetap harus secara langsung, untuk memastikan calonnya secara fisik. Kan ada tahapan Coklit,” terang mantan Menteri Pemuda dan Olahraga ini.
Tahapan lain yang mutlak dilakukan secara online adalah kampanye peserta Pemilu atau Pilkada. Apalagi, pandemi COVID-19 mewajibkan semua orang patuh pada protokol kesehatan di mana pun dan kapan pun dia berada.
“Saya mendesak kampanye bisa dilakukan dengan cara-cara virtual. Jika tidak, akan banyak pelanggaran terjadi dalam hal jaga jarak fisik dan lain-lain. Apalagi kebiasaan partai itu kan datangkan tokoh pusat dan artis ibu kota ke kampanye Pilkada,” terangnya.
Namun, Roy Suryo menegaskan, proses pemungutan suara di hari-H tetap mesti dilakukan secara langsung di TPS, terutama pada Pilkada 2020 bulan Desember nanti.
“Soal pemungutan suara, menurut saya harus tetap secara langsung di TPS. Pencoblosan kan bisa diawasi protokol kesehatan yang ketat. Kampanyenya bisa virtual, tapi pemungutan suara tetap coblos langsung,” ujar eks anggota Komisi I DPR RI ini.
Mengapa demikian? Menurut Roy, mayoritas pemilih di Indonesia belum sepenuhnya percaya pada mekanisme pemilihan elektronik. Hal ini berangkat dari banyaknya temuan kecurangan di Pemilu 2019 dan Pilkada-Pilkada sebelumnya.
“Saya yang orang IT saja mendorong pencoblosan langsung. Demi kepercayaan masyarakat. Ketuap KPU, Mas Arief Budiman juga setuju ini.
Sebagian tahapan menuju pemilihan bisa vritual, tapi pencoblosan dilakukan langsung. Setelah itu, pengiriman data perolehan suara dilakukan secara online dari TPS ke KPU,” tegasnya.
“Hasil pemungutan suara di TPS, langsung dikirim ke KPU. Ini lebih jujur daripada sistem berjenjang. Inilah perubahan mindset masyarakat, perubahan teknologi, ditambah pandemi,” tambahnya.
Lalu kapan Indonesia sebaiknya melaksanakan E-Voting? Roy mengatakan, bahkan negara maju pun tidak bisa melaksanakan Pemilu elektronik secara serentak di seluruh wilayah pada kesempatan pertama.
“E-voting tidak bisa dilakukan serentak, langsung pada kesempatan pertama. Negara maju pun bertahap. Untuk Pilkada 2020 dan Pemilu 2024, mungkin kita masih belum bisa (E-Voting), apalagi ada pandemi,” kata dia.
“Inilah makanya saya sarankan kita mulai dengan Pemilu Hybrid, campuran antara virtual dan konvensional,” tutup Roy.