Negara Penuh Aplikasi Solusi Atau Masalah Baru ( Inggar Saputra )
beritakin.com Perkembangan dunia digital yang ditandai teknologi kecerdasan buatan, maraknya new media dan kebutuhan big data merupakan sebuah keharusan zaman. Di tengah serbuan digitalisasi, manusia dibuat semakin efektif dan efisien dalam bekerja. Mencari informasi, edukasi, pekerjaan, dan berbagai perilaku manusia lainnya, cukup sekali klik di handphone. Inilah era ketika manusia disibukkan teknologi dan mengalami ketergantungan kronis terhadap media sosial. Sehari saja hidup tanpa teknologi, internet dan media sosial, hidup seorang manusia Indonesia terasa mati suri.
Merespons kebutuhan teknologi, berbagai organisasi di Indonesia ikut terdorong dalam tren berebut pasar informasi dan mencari dukungan masyarakat. Termasuk organisasi pemerintah yang berusaha menyapa, berdialog dan menyerap aspirasi masyarakat melalui tren pembuatan aplikasi. Beramai-ramai organisasi pemerintah membuat aplikasi, tanpa berusaha memikirkan urgensi akan kebutuhan aplikasi tersebut. Sebagian berfikir proyek semata, sebagian lagi tak memikirkan mau dibawa ke mana aplikasi yang sudah dibuat oleh lembaganya. Repotnya mereka seperti lupa itu anggaran negara dipakai membuat aplikasi mubazir, yang perlu pembuktian akan efektivitasnya.
Borosnya anggaran negara yang dibuat untuk aplikasi tanpa kejelasan arah dan tujuan, menjadi perhatian banyak kalangan termasuk Presiden Jokowi. Dalam sebuah kegiatan SPBE Summit 2024 dan Peluncuran Govtech Indonesia, Mei 2024, Pak Jokowi menyebut adanya 27 ribu aplikasi kementerian, lembaga dan pemerintah daerah. Sebagian sebuah produk digital, tentu saja wajar saja lembaga negara ikut masuk dalam tren yang diminati masyarakat luas. Persoalannya kemudian sejauhmana aplikasi itu menciptakan daya ungkit dan berdampak luas kepada tujuan pembangunan negara yang ingin menyejahterakan masyarakat Indonesia.
Kita melihat, bagaimana kehadiran aplikasi yang ada justru berjalan sendiri, tanpa kejelasan arah dan tujuan dibuatnya aplikasi tersebut. Alih-alih mempermudah pelayanan publik, justru kehadiran aplikasi tersebut terkadang menciptakan kebijakan tumpang tindih yang membuat masyarakat mengalami kebingungan. Bagaikan sebuah pasar, kita kebanjiran produk yang tidak jelas sehingga membingungkan konsumen sebagai pelaku strategis dalam melihat produk mana yang dibutuhkannya. Meminjam istilah Presiden Jokowi, kehadiran aplikasi seharusnya menggunakan tolak ukur kepuasan dan kemudahan urusan masyarakat, bukan hanya sibuk memperbanyak angka pembuatan aplikasi.
Masih menurut Presiden Jokowi sebagaimana dikutip dari instagram katadatacoid, saat ini pemerintah menganggarkan angka Rp 6,2 triliun rupiah untuk membuat aplikasi baru. Tetapi luar biasanya, ada kementerian yang mampu memproduksi lebih dari 500 aplikasi. Pertanyaan penulis, mengapa niat baik pemerintah dengan anggaran tidak direspons lembaga negara dengan membuat sejauhmana tren aplikasi yang dibutuhkan masyarakat? Jika hanya membuat aplikasi sebagai bagian tugas lembaga negara, tentu sangat memprihatinkan ikutan tren tapi tidak memahami tujuan dari ikutan tren tersebut. Jangan sampai guyonan ganti menteri ganti kurikulum, diubah menjadi gantri (menteri, gubernur, bupati, walikota dan kepala dinas-pen) ganti aplikasi.
Inggar Saputra Infokom KIN RI