3 Tahun Kasus Meninggalnya Pasien BPJS Macet, Penyidik Kini Dilaporkan ke Kapolri

Bogor, beritakin | Keluarga Julia Susanti atau JS (45), pasien BPJS Kesehatan penderita asam lambung yang meninggal dunia di Kamar Melati RS. PMI Bogor (20/4/19) dengan dugaan malpraktek, terus menuntut keadilan.

Setelah mengadu ke MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia), untuk melaporkan dr. A N, S.Pd dan (AL) selaku perawat yang diduga lalai dalam menangani JS, kali ini pihak keluarga juga melaporkan penyidik yang diduga berpihak terhadap terlapor (dokter dan perawat) terhadap penanganan laporan keluarga JS, No : LI/260/VII/2020/Dit.Reskrimsus Polda Jabar, tanggal 30 Juli 2020.

“Penyidik tidak profesional dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.Kasus ini sudah hampir 3 tahun namun belum tuntas, padahal kita sudah melampirkan berbagai macam bukti terkait kelalaian dokter dan perawat tersebut,” beber WAWAN, adik kandung JS.

Lanjut WAWAN, dugaan keberpihakan penyidik diperkuat saat tanggal 27 September 2021, Kasubdit IV Krimsus Polda Jabar, AKBP Indra Setiawan NRP. 80100970, Dkk, menerbitkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) dengan Nomor B/260/IX/Ditreskrimsus, yang isinya bahwa perkara itu adalah TIDAK DI TEMUKAN TINDAK PIDANA (Perdata) dan bukan pidana karena penyidik menyimpulkan bahwa obat tramadol dan injeksi omeprazole 60 ml yang diberikan tidak mempunyai efek samping.

“Surat dari penyidik ditujukan kepada penasihat hukum kami, Bapak SL Gaol SH.MH dari Universitas Dirgantara Jakarta, dengan nomor B/200/IX/2021/Dit.reskrimsus,” sambung Wawan 

Kemudian pada tanggal 13 November 2019, Menkopolhukam QQ Sekretaris Satgas Saber Pungli kala itu, Inspektur Jenderal Polisi Drs. Widiyanto Poesoko SH.M.Si, telah menerbitkan surat kepada Kemenkes RI dengan Nomor B.200/HK.00/11/2019, tentang permohonan tindak lanjut surat yang sudah 1 bulan belum ada tindaklanjut dari Dinkes Provinsi Jawa Barat.

Perjuangan tak hanya dilakukan Wawan, kakak kandung JS yaitu Yanti, juga telah menempuh berbagai langkah hukum, termasuk meminta berbagai dukungan guna mencari keadilan terkait kematian adiknya itu.

Salah satunya dengan mengadu ke Ketua DPRD Jawa Barat, Brigjen TNI (Purn) Taufik Hidayat. Ketua DPRD Jawa Barat tersebut menerbitkan surat permohonan bantuan mendapatkan rekam medis atas nama JS kepada RS PMI Bogor dengan Nomor 162.6/8169.Sekwan.DPrd Puu/2019.

Selanjutnya pada 19 Desember 2019, Ketua DPRD Jabar, Brigjen Purn TNI, Taufik Hidayat, telah menyurati Wali Kota Bogor, Bima Arya, juga memohon bantuan untuk memperoleh rekam medis terperinci dari pihak rumah sakit tersebut.

Kemudian memberikan kuasa hukum kepada SL Gaol SH.MH dari Universitas Dirgantara, untuk mendesak pihak kepolisian mengusut tuntas kasus dugaan malpraktik tersebut, terlebih perawat RS PMI Bogor yang dulu menangani JS itu telah menghilang tanpa jejak.

Kuasa hukum juga telah melaporkan kasus kepada Karowasidik Bareskrim Polri, tanggal 24 November 2021 dengan surat nomor surat 10/FH.UNS/XI/2021. Surat ini telah diterima tanggal 29 November 2021 dengan bukti tanda terima.

Di dalam laporan ke Karowasidik Bareskrim Polri di Jalan Trunojoyo No. 3 Kebayoran Baru Jakarta Selatan itu, juga dilampirkan surat kepada penyidik Polda Jabar dengan nomor 0927495, untuk menyita rekam medis atas nama JS dari RS PMI Bogor, dengan tujuan agar tidak disalahgunakan oleh pihak RS PMI Bogor, mengingat saat itu kasus masih dalam tahap penyelidikan.

Gaol juga telah meminta kepada penyidik untuk mengundang sejumlah saksi ahli dari kalangan akademisi kedokteran, kesehatan, dan farmakologi independen, seperti dari Universitas Padjajaran (Unpad), Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Maranatha, dan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Universitas Brawijaya Tujuannya untuk memeriksa, mengkaji, meneliti, serta memberikan pendapat tentang keabsahan rekam medis, seperti menjelaskan bagaimana cairan 60 mililiter omeprazole yang disuntikkan oleh perawat ke dalam tubuh korban apakah bisa memicu serangan jantung sehingga mengakibatkan korban meninggal dunia.

“Jadi dengan diundangnya para saksi ahli akademisi dari sejumlah universitas itu, diharapkan dapat menyampaikan pendapat secara objektif sesuai dengan fakta atas nama kebenaran sehingga tidak ada pertimbangan toleransi karena sama-sama berprofesi sebagai dokter dan akhirnya dapat membuka secara terang benderang kasus kematian kakak saya,” tandasnya.

Ketidakprofesionalan dari penyidik Polda Jabar itu membuat sampai dengan detik ini hasil rekam medis JS belum didapatkan. Sementara itu, Kadiv Propam Polri , belum juga memberikan keterangan terkait perkembangan kasus. Terlebih mengenai Laporan pihak kuasa Hukum yang meminta pihak Propam umtuk melakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang di duga tidak professional dan adanya unsur keberpihakan terhadap Dokter dan Perawat. ( STPL NO : SPSP2/3473/IX/2021/ Bagyanduan Propam )

Selaku rakyat kecil, pihak keluarga korban hanya minta agar hukum benar benar ditegakkan seadil-adilnya sesuai dengan program Presisi yang digembar-gemborkan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, jadi hukum tidak tumpul ke atas dan tajam ke bawah, atau tidak membela yang bayar.

Pihak keluarga korban juga berpegang kepada apa yang digembar gemborkan Kapolri, bahwa pimpinan kepolisian itu menegaskan akan mencopot langsung anggotanya jika terbukti melakukan pelanggaran yang mencederai keadilan masyarakat karena akan semakin menurunkan kepercayaan publik kepada institusi Polri (12/9/2022).

Wawan menambahkan, dalam upaya terbaru, pihaknya telah memberikan kuasa hukum kepada INF SH dari LKBH Universitas Janabadra Yogyakarta, untuk kembali melaporkan secara tertulis kepada dokter dan perawat yang diduga lalai tersebut ke MKDKI. Pada tanggal 31 Agustus 2022, laporan pengaduan itu telah diterima oleh Staf Administrasi MKDKI dan akan segera ditindaklanjuti.

Juga menyurati Irwasum Polri tanggal 12 September 2022, perihal permohonan pemeriksaan ulang terhadap surat jawaban hasil penyidikan (SP2HP) yang ditandatangani Kasubdit IV Krimsus Polda Jabar, AKBP Indra Setiawan NRP. 80100970, Dkk. yang isinya bahwa perkara itu adalah perkara perdata dan bukan pidana, dengan kesimpulan bahwa obat tramadol dan injeksi omeprazole 60 ml yang diberikan tidak mempunyai efek samping.

Perlu dan untuk diketahui, sebelumnya pihak keluarga telah melaporkan dokter dan perawat yang menangani JS dengan Nomor LI/260/VII/2020/Dit.Reskrimsus tanggal 30 Juli 2020. Kemudian pihak kuasa hukum/pengacara mendesak kepada pihak penyidik, agar laporan kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan segera melakukan penahanan terhadap Dokter AN karena telah melakukan kekeliruan diagnosis/mendiagnosis, yakni tanpa melakukan skin test (tes alergi obat) memerintahkan perawat AL menyuntikkan cairan omeprazole 60 ml langsung ke dalam tubuh korban melalui vena (IV) sehingga menyebabkan kematian JS selang 25 menit kemudian.

Perawat AL juga diduga sengaja menghilangkan barang bukti berupa suntikan 60ml tersebut.

Adapun tuntutan hukum dari kuasa hukum kepada dokter dan perawat terlapor adalah dugaan malpraktek tenaga medis yang berbasis mens rea kelalaian/culpa, yaitu pasal 359, 360, dan 361 KUHP, yaitu kurungan penjara selama 5 tahun sekurang-kurangnya 1 tahun. (PR/Acdy) | Foto: Google.com

Show More

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button